Pancasila. Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan perwakilan. Lima, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Itulah ingatan saya akan bunyi lengkap Pancasila, lambang dan dasar negara bangsa kita. Tepat 100 pesen ingatan saya ataukah ada beberapa bagian yang terlupakan? Seandainya saya salah, saya tak sendiri. Harian Kompas, 1 Juni 2008 melaporkan hasil survei yang dilakukannya pada tanggal 28-29 Mei Mei 2008 melalui telepon pada 835 responden berusia 17 tahun ke atas yang dipilih acak dari Buku Petunjuk Telepon Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, padang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Manado dan Jayapura. Hasil survei Kompas tersebut menunjukkan bahwa 48,4 persen responden berusia 17-29 tahun menyebutkan kelima Pancasila salah atau tidak lengkap. 42,7 persen responden berusian 30-45 tahun salah menyebutkan kelima Pancasila. Responden berusia 46 tahun ke atas lebih parah, yakni sebanyak 60,6 persen yang salah menyebutkan kelima sila Pancasila.
Mari kita cek ingatan saya akan bunyi lengkap kelima sila Pancasila. Sila pertama benar : Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila kedua masih benar : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ketiga tetap benar: Persatuan Indonesia. Sila keempat salah telak. Sila keempat seharusnya berbunyi : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sila kelima benar : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ternyata sila keempat memang sila yang paling banyak dilupakan. Menurut survei Kompas, sebanyak 39,4 persen responden salah menyebutkan sila yang menjadi dasar kehidupan demokrasi tersebut. Sila pertama yang paling tepat disebutkan yakni sebanyak 81,6 persen. Hanya 12,3 persen yang salah menyebutkan.
Dalam tajuk rencana, edisi 2 Juni 2008, Kompas menulis bahwa Pancasila adalah sesuatu yang khas, luar biasa dan mendahului zamannya, suatu sintesis yang dihargai banyak negara. Pancasila adalah suatu faham demokrasi yang sekaligus mengamanatkan kesejahteraan dan keadilan. Bukan saja, kemanusiaan yang adil dan beradab tetapi sekaligus yang beriman. Kebebasan beriman, kebebasan beragama menurut keyakinan masing-masing dalam kerangka sikap dasar saling menghargai dan menghormati.
Reposisi dan revitalisasi Pancasila akhir-akhir ini banyak disuarakan berbagai kalangan. Di tengah berbagai kesulitan hidup, kusutnya benang politik, dan terjangan globalisasi, semangat mencari lagi jiwa dan jati diri bangsa tampak menjadi opsi mujarab mengembalikan asas negeri. Lebih dari tiga perempat responden Kompas merindukan Pancasila, yang menginginkan perlunya dimulai kembali penataran Pancasila, tentu dengan konsep baru yang lebih menjawab persoalan zaman.
Benny Susetyo, Sekretaris Dewan Nasional Setara Institut dan Komisi Hak KWI, bertanya gundah : Masih Saktikah Pancasila Kita? (Kompas, 2 Juni 2008). Romo Benny pantas bertanya, pantas gundah. Menurut dia, Pancasila kita sedang menghadapi krisis multimensional. Pancasila kita tengah berhadapan dengan perilaku elite yang tidak peduli rakyat. Pancasila tengah menghadapi tantangan bagaimana membuat orang-orang beragama lebih toleran terhadap yang lain.
Bagi saya, Pancasila itu sebuah seruan untuk, Satu : tidak makan dan minum di muka umum ketika kawan-kawan saya yang Muslim berpuasa. Dua : berbagi rejeki dengan office boy dan security. Tiga : lahir di Flores, sekolah di Yogya, kerja di Jakarta, menikah di Banjarmasin. (Juga masih terharu tatkala mendengarkan lagu Indonesia Raya dikumandangkan). Empat : mendengarkan pendapat kawan dan lawan meski tidak sependapat. Lima : berbuat adil di rumah sendiri yakni berbagi kerjaan domestik dengan istri.
Peristiwa penyerangan FPI atas sekelompok massa sesama bangsa Indonesia,yang dianggap musuh oleh FPI, jelas merupakan kejadian yang bermakna ganda. Bukan kebetulan bahwa FPI memilih hari lahir Pancasila 1 Juni, sebagai saat untuk bikin ulah sekaligus unjuk kekuatan. Kejadian tersebut sekaligus ujian bagi pemerintah dan aparatnya, apakah betul Pancasila masih menjadi Dasar Negara.
Kejadian tersebut jelas-jelas mencederai nilai-nilai luhur yang dicanangkan pendiri bangsa.
Sila ke-1, Ketuhanan yang Maha Esa. Mereka yang menyerang kelompok lain mengatasnamakan agama sebagai alasan untuk menganiaya sesama manusia. Benarkah itu? Saya yakin tidak ada satu agama pun yang melegalkan penganiayaan terhadap sesama demi nama-Nya. Tuhan Maha Besar tidak butuh campur tangan manusia untuk membela nama-Nya.
Sila ke-2, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Jelas, tindakan FPI melampaui batas kewajaran. Seolah-olah mereka adalah kelompok yang tak berperikemanusiaan.
Sila ke-3, Persatuan Indonesia. Menyadari bangsa ini terdiri dari berbagai unsur maka sila ini menjadi sangat relevan untuk mengajak seluruh elemen bangsa yang berbeda untuk bersatu demi negara Indonesia. Bukannya gontok-gontokan sesama bangsa.
Sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dalam sila ini ingin mengajak bangsa Indonesia mengedepankan musyawarah. Bukan adu otot dalam menyelesaikan perbedaan.
Sila ke-5, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya sekelompok orang. Bagaimana bisa adil, jika kita selalu mau menang sendiri. Mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Saat ini, bertepatan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila, adalah waktu yang tepat buat kita semua untuk melihat kembali implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wahai pemimpin negara. Apakah Pancasila masih menjadi Dasar Negara Indonesia?
Jika jawabnya “ya”, buktikan dengan tindakan nyata.
Indonesia Bangsa marilah bersatu
INDONESIA...adalah bangsa yang sangat kaya : kekayaan alam, budaya, adat istiadat, tata krama, keanekaragaman suku...dll. Itu semua menjadikan aku bangga menjadi bagian dari bangsa ini. Tak henti-hentinya aku menanamkan kepada anak didikku betapa pentingnya menjaga bangsa ini.
PANCASILA...
salah satu kekayaan pemikiran yang kita miliki, menjadi pembeda bangsa kita dengan bangsa lain di dunia. Sebagai suatu prinsip dasar dan falsafah hidup yang harus dipegang teguh oleh setiap rakyat yang terlahir sebagai warga negara Indonesia. Dengan bermodalkan PANCASILA, kita mestinya bisa hidup berdampingan dengan damai di bumi Indonesia tercinta ini.
NAMUN...
betapa kaget kita melihat kenyataan yang jauh dari harapan, bangsa ini mudah sekali marah, terpancing emosi, terbakar rasa cemburu yang tidak beralasan, bersikap curiga kepada setiap orang, rasa displin yang mulai hilang, memandang sebelah mata kaum minoritas.
INIKAH...bangsa yang aku miliki..???
WALAPUN...berbagai macam masalah, kekurangan dan kejelekan yang dihadapi bangsa ini, aku tetap cinta bangsa ini, dan aku yakin Indonesia bisa LEBIH BAIK.
AYO BERSATU BANGKIT...Anak bangsaku, mulai hari yang jauh lebih baik, tanamkan disiplin dari hal yang kecil, cintailah sesama rakyat Indonesia, hargai perbedaan yang ada, karena sesungguhnya MUSUH kita yang utama adalah : KEBODOHAN, KEMISKINAN, dan KETERBELAKANGAN.
Reflexsi di hari jadi panca sila
Hari ini, 1 Juni, dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Pancasila yang juga tergambarkan dalam lambang negara kita Garuda Pancasila sebagai perisai bangsa. Perisai yang berisikan lima dasar (lima =panca, sila = dasar) yaitu: 1. KeTuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Tahun lalu (Februari 2007), sebuah tulisan di majalah Time berjudul "Why Indonesia Matters" membuat saya sedikit gundah. Jurnalis asing Hannah Beech mengatakan: "In a response of sorts to the growing radicalism, Yudhoyono has recently paid lip service to Pancasila, the secularized state ideology promoted during the Suharto era. But if Indonesia is to shore up its international reputation, more will be needed than recycling an old ideology tainted by its association with a former dictator." (Menanggapi bertumbuhnya gerakan-gerakan radikal, Yudhoyono baru-baru ini mengingatkan kembali akan Pancasila, ideologi negara sekular yang dipromosikan dalam era Suharto. Tapi, bila Indonesia ingin kembali meningkatkan reputasi internasional bangsanya, banyak hal lain yang dibutuhkan di luar daur ulang sebuah ideologi tua yang ternoda oleh hubungannya dengan diktator yang pernah berkuasa.")
Bisa jadi saya salah tangkap dalam pemahaman Hannah Beech mengenai "old ideology", karena memang sebenarnya umur Pancasila sudah tua sekali karena berakar dari pemahaman hidup yang mendalam dalam berbangsa. Setelah membaca tulisan itu dengan sedikit emosi saya menulis sebuah tulisan di blog saya "Why Indonesia Matters, Why Pancasila Matters." Menurut saya sangat penting kita berpegang pada Pancasila karena sebenarnya isi yang dikandungnya sangat dalam maknanya.
Banyak orang yang mungkin merasa doktrinisasi Pancasila selama pemerintahan Orde Baru, tapi bila kita kembali mengkaji isi yang dikandungnya maka akan terlihat betapa berharga sebenarnya isi Pancasila itu. Yang kurang adalah penerapan isi sila-sila yang terdapat di dalam Pancasila.
Sementara pelajar dan mahasiswa harus semakin mengenal isi butir-butir Pancasila dalam kegiatan P4, contoh praktek yang terlaksana di lapangan sangat berbeda dengan teori yang ada di dalam kelas penataran. Bila antara teori dan praktek terjadi penyimpangan yang sangat jauh, berarti tidak ada penghargaan terhadap teori tersebut. Dan bila terjadi kegagalan di lapangan karena penerapan teori yang salah, maka siapa yang bisa disalahkan? Teori atau pelaku teori?
Dalam sejarah perumusan Pancasila di Wikipedia Indonesia tercatat bahwa pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin mengajukan pandangannya tentang Lima Dasar, sementara pada tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengajukan Panca Dharma. Lahirnya Pancasila ditetapkan sebagai tanggal 1 Juni setelah Soekarno pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengajukan nama Panca Sila.
Dalam tulisan S. Supomo berjudul "Tantular dan Karyanya" yang dimuat dalam buku 1000 Tahun Nusantara dari penerbit Kompas, dikatakan bahwa Soekarno ketika mengusulkan nama Pancasila mengatakan bahwa usulan itu berdasarkan "petunjuk seorang teman kita ahli bahasa". Kemungkinan besar seorang teman ini adalah Muhammad Yamin yang saat sidang itu memang duduk berdekatan dengan Soekarno. Ternyata kata Pancasila, seperti juga kata Bhinneka Tunggal Ika berasal dari kakawin Sutasoma yang diperkirakan berasal dari sekitar tahun 1367 -1389 (hal 503 buku 1000 Tahun Nusantara).
Muhammad Yamin memang memiliki perhatian yang besar terhadap sejarah Majapahit (lihat juga Dari Nusantara Menjadi Indonesia, http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=2719). Karena itu sejarah Pancasila juga tidak lepas dari sejarah panjang negara yang berasal dari persatuan kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara yang bersatu dalam keragamannya, Bhinneka Tunggal Ika.
Mengenal Pancasila secara mendalam berarti melindungi kebebasan setiap warga negara untuk menganut agama/kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam setiap agama yang diajarkan adalah kebaikan dan cinta sesama, begitu kesimpulan Kartini dalam salah satu suratnya, jadi sila pertama juga mengajarkan hidup rukun dengan sesama.
Menjalankan Pancasila sebagai dasar negara berarti juga menghargai sesama warga negara sebagai sesama manusia dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menerapkan Pancasila berarti juga menjunjung tinggi persatuan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Menjalankan demokrasi Pancasila berarti ada diskusi yang berdasarkan "Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan", berarti rakyat merupakan bagian terpenting yang diwakilkan dalam parlemen oleh para wakilnya. Perjuangan para wakil rakyat adalah untuk kepentingan rakyat.
Dan yang tidak kalah penting dalam Pancasila adalah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menyeimbangkan keadilan mungkin susah bila dilihat hanya dari satu sisi, tapi bila dilihat dari mata kepentingan bangsa dalam kesatuan filosofis sila-sila lainnya maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus terus diupayakan agar sila-sila lainnya juga terpenuhi maknanya.
Bukankah semua hal ini yang semakin sering dilanggar oleh pemegang perwakilan dan kekuasaan sehingga terjadi parlemen jalanan? Yang terjadi adalah rakyat yang semakin tidak percaya kepada wakil-wakil yang terpilih mewakili mereka? Rakyat yang kecewa kepada pimpinan yang dahulu mereka pilih sendiri?
Apakah Pancasila sungguh-sungguh berarti bagi para pemimpin dan wakil rakyat? Atau hanya sekedar basa-basi (lip service) bagi rakyat? Berguna atau tidak Pancasila sebagai perisai bangsa hanya bisa dijawab oleh bangsa ini sendiri, apakah mau serius menjalankan kelima dasar itu atau tidak. Yang pasti nilai yang terkandung di dalamnya merupakan sebuah nilai yang sangat dalam, yang tergali dari sejarah ratusan tahun sebuah bangsa besar yang sanggup belajar dari sejarahnya. Apakah modernitas sudah membunuh kemampuan belajar itu? Selamat meneruskan refleksi ini...
PANCASILAKU DIS
Enam puluh tiga tahun sudah umur Dasar Negara kita Pancasila, tepat 1 Juni 1945 ketika Bung Karno, Bapak Proklamator kita menyampaikannya sebagai suatu gagasan tentang dasar negara untuk persiapan Indonesia merdeka. Pidato tanpa teks yang disampaikan di depan sidang anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI), sebuah badan bentukan Jepang yang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasifik (Perang Dunia II).Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H. A. Salim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin) yang bertugas untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. (Sumber : Sejarah Indonesia)
Racun Liberalisme dan Kapitalisme di moncong bedil demokrasi
Sejak lama penjajah dari bangsa Eropa sangat meminati alam Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam ini. Setelah kemerdekaan diraih dan kita berhasil melepaskan diri dari belengu kolonialisme dan imperialisme bangsa barat tersebut, ternyata kemudian kita hanya beralih dari suatu bentuk penjajahan yang lama ke bentuk penjajahan yang lain - ibarat lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya - yaitu imperialisme gaya baru. Pelakunya tidak lain adalah bangsa Barat juga, yaitu Amerika Serikat dan negara-negara sekutu ekonominya yang menganut liberalisme dan kapitalisme dalam bidang ekonomi dengan menggunakan demokrasi di bidang politik sebagai senjatanya.
Kalau di masa lampau kaum imperialis harus mendatangi dan menguasai tanah dan bangsa Indonesia secara langsung, di masa imperialisme gaya baru, mereka cukup menggunakan kaki tangannya, yaitu elit-elit politik, pakar-pakar politik dan ekonomi dari bangsa Indonesia sendiri. Orang-orang pintar dan pilihan tersebut dengan bersemangatnya mengusung prinsip-prinsip liberalisme dan kapitalisme, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Dengan menggunakan demokrasi sebagai senjata, rakyat dijanjikan kekuasaan semu yang absurd, demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Maka perselingkuhan terhadap Pancasila dan UUD 1945 pun dimulai.
Bentuk-bentuk perselingkuhan
Pengkhianatan terhadap sila-sila Pancasila dan pasal-pasal di dalam batang tubuh UUD 1945 terus berlangsung dari waktu ke waktu. Mulai dari pengedepanan suara terbanyak dari pada musyawarah untuk mufakat di dalam sistem politik, sampai penjualan aset-aset negara kepada swasta dan pihak asing. Pada tahap awal memang baru sila kelima dan keempat yang dikebiri, namun nantinya tidak terlepas kemungkinan sila ketiga, kedua dan pertama akan dinodai (mungkin sudah terjadi). Begitu juga dengan pasal-pasal UUD 1945, satu persatu mulai diabaikan dan dilucuti. Hanya pasal-pasal yang bersesuaian dengan semangat liberalisme dan kapitalisme saja yang diusung dan dipopulerkan, seperti semangat kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Ini pun sepertinya hanya merupakan jalan tengah untuk menyenangkan masa pendukung demokrasi agar bisa diam dengan mainan baru yang bernama kebebasan. Selebihnya adalah penipuan besar dengan mengatasnamakan liberalisasi ekonomi yang pada hakikatnya adalah penguasaan sektor-sektor ekonomi kerakyatan ke dalam rangkulan kapital-kapital bermodal besar. Sangat jelas di sini pasal 33 UUD 1945 sudah dikebiri dan menjadi mandul.
Siapakah yang bertanggung jawab ?
Kekuasaan silih berganti dari masa ke masa. Pemerintahan yang satu bertukar ke pemerintahan yang berikutnya. Tapi apa lacur, tak ada seorang pemimpin pun yang menyadari kondisi ini, tak ada seorang penguasa pun yang mencoba mengangkat kaki bangsa Indonesia dari lumpur hitam ini. Pada akhirnya lumpur ini semakin menenggelamkan kita dalam sebuah skenario kematian, setiap gerak kaki dan tubuh kita tidak mengarah kepada keselamatan melainkan mendukung untuk terus tenggelam. Dapatkan bangsa Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman Liberalisme dan Kapitalisme ? Marilah kita menunggu keajaiban dari Tuhan.
SOSIAL, HUKUM, BUDAYA.
Menjelang pesta demokrasi tersebut, bursa kandidat terus bergerak. Hampir setiap saat muncul kabar dan isu baru seputar calon-calon dan kemungkinan koalisi. Tetapi sejauh ini belum tampak arus kuat di tingkat akar rumput kepada siapa suara politik bergerak. Semua masih meraba sikap dan perilaku masyarakat pemilih yang masih serba berubah.
Walaupun demikian, para kandidat yang telah memutuskan untuk maju untuk pilkada, telah melakukan berbagai kegiatan kampanye, baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Para tim sukses mulai bergerilya dari kota hingga ke pelosok desa, dari sekolah hingga ke dayah-dayah. Semua membawa pesan politik yang sama, yaitu mempengaruhi tokoh dan masyarakat pemilih.ini merupakan gambaran terhadap pola-pola kampanye yang dilakukan oleh kandidat dan tim sukses yang sempat di amati secara langsung maupun tidak langsung serta memberikan saran supaya rancangan skenario politik perebutan kekuasaan tidak merusak proses perdamaian.dimana peran aktif menjelang pilkada sebagai tumbunya demokrasi Rakyat,Pada perkembangannya, semangat manusia untuk hidup damai dan tenteram telah menyebabkan munculnya upaya-upaya bersama yang terus menerus untuk mencari jalan melanggengkan atau memelihara situasi damai sesuai cita-cita bersama. Penelitian perdamaian (peace researchs) dilakukan strategi perdamaian (strategy of peace) . Dalam bukunya Strategi Politik (2003) Peter Schoder mengatakan bahwa “kita tidak mungkin disukai oleh semua orang”. Kampanye politik bukanlah situasi perang, tetapi, kata Schoder, “setiap ide politik yang dikemukakan oleh seseorang atau sebuah kelompok akan memecah masyarakat pada saat ide itu diumumkan”. Politik memang bukan perang. Tetapi efek dari situasi yang diciptakan oleh kampanye politik bisa berubah menjadi perang ketika kampanye politik dijadikan sebagai arena untuk membantai lawan politik tanpa etika dan sopan santun politik. Kampanye politik merupakan sebuah upaya untuk mempengaruhi pemilih supaya menentukan pilihan sesuai dengan tujuan sang kandidat. Oleh sebab itu, sering kali kampanye politik diisi oleh penyerangan terhadap pribadi-pribadi kandidat dan pendukungnya dengan membuka keburukan-keburukan dari segala dimensi. Black campaign (kampanye negatif) merupakan trend universal di gelanggang politik dunia. Di negara-negara yang demokrasinya sudah matang sekalipun, kampanye terhadap keburukan-keburukan lawan sering dilakukan.untuk itu peran negativ tersebut perlu di hindari,menuju pilkada yang merupakan Cermin Demokrasi.Hal yang paling baik
untuk dilakukan adalah, menemukan dan memanfaatkan faktor-faktor positif
yang ada dalam sistem hubungan yang baik secara optimal, melalui diplomasi pro-aktif, untuk "membangun dan memantapkan "perdamaian domestik pada tingkat nasional. Suatu konsep strategi nasional untuk perdamaian akan gagal apabila tidak memperhitungkan faktor-faktor strategis, perkembangan konstelasi, dan dinamika hubungan masyarakat.semoga para kandidat mempunyai visi menyukseskan,pilkada dengan harapan kesejahteraan Rakyat dengan missi damai,.memajukan kepentingan umum..
Walaupun demikian, para kandidat yang telah memutuskan untuk maju untuk pilkada, telah melakukan berbagai kegiatan kampanye, baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Para tim sukses mulai bergerilya dari kota hingga ke pelosok desa, dari sekolah hingga ke dayah-dayah. Semua membawa pesan politik yang sama, yaitu mempengaruhi tokoh dan masyarakat pemilih.ini merupakan gambaran terhadap pola-pola kampanye yang dilakukan oleh kandidat dan tim sukses yang sempat di amati secara langsung maupun tidak langsung serta memberikan saran supaya rancangan skenario politik perebutan kekuasaan tidak merusak proses perdamaian.dimana peran aktif menjelang pilkada sebagai tumbunya demokrasi Rakyat,Pada perkembangannya, semangat manusia untuk hidup damai dan tenteram telah menyebabkan munculnya upaya-upaya bersama yang terus menerus untuk mencari jalan melanggengkan atau memelihara situasi damai sesuai cita-cita bersama. Penelitian perdamaian (peace researchs) dilakukan strategi perdamaian (strategy of peace) . Dalam bukunya Strategi Politik (2003) Peter Schoder mengatakan bahwa “kita tidak mungkin disukai oleh semua orang”. Kampanye politik bukanlah situasi perang, tetapi, kata Schoder, “setiap ide politik yang dikemukakan oleh seseorang atau sebuah kelompok akan memecah masyarakat pada saat ide itu diumumkan”. Politik memang bukan perang. Tetapi efek dari situasi yang diciptakan oleh kampanye politik bisa berubah menjadi perang ketika kampanye politik dijadikan sebagai arena untuk membantai lawan politik tanpa etika dan sopan santun politik. Kampanye politik merupakan sebuah upaya untuk mempengaruhi pemilih supaya menentukan pilihan sesuai dengan tujuan sang kandidat. Oleh sebab itu, sering kali kampanye politik diisi oleh penyerangan terhadap pribadi-pribadi kandidat dan pendukungnya dengan membuka keburukan-keburukan dari segala dimensi. Black campaign (kampanye negatif) merupakan trend universal di gelanggang politik dunia. Di negara-negara yang demokrasinya sudah matang sekalipun, kampanye terhadap keburukan-keburukan lawan sering dilakukan.untuk itu peran negativ tersebut perlu di hindari,menuju pilkada yang merupakan Cermin Demokrasi.Hal yang paling baik
untuk dilakukan adalah, menemukan dan memanfaatkan faktor-faktor positif
yang ada dalam sistem hubungan yang baik secara optimal, melalui diplomasi pro-aktif, untuk "membangun dan memantapkan "perdamaian domestik pada tingkat nasional. Suatu konsep strategi nasional untuk perdamaian akan gagal apabila tidak memperhitungkan faktor-faktor strategis, perkembangan konstelasi, dan dinamika hubungan masyarakat.semoga para kandidat mempunyai visi menyukseskan,pilkada dengan harapan kesejahteraan Rakyat dengan missi damai,.memajukan kepentingan umum..
Pancasilaku diracun Liberalisme dan Kapitalisme di moncong bedil demokrasi
:
Enam puluh tiga tahun sudah umur Dasar Negara kita Pancasila, tepat 1 Juni 1945 ketika Bung Karno, Bapak Proklamator kita menyampaikannya sebagai suatu gagasan tentang dasar negara untuk persiapan Indonesia merdeka. Pidato tanpa teks yang disampaikan di depan sidang anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI), sebuah badan bentukan Jepang yang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasifik (Perang Dunia II).
Maafkan Bapak Bangsaku Bung Karno,kami anak bangsa ini tidak mampu berbuat apa - apa ketikan terjadi, Pengkhianatan terhadap sila-sila Pancasila dan pasal-pasal di dalam batang tubuh UUD 1945 terus berlangsung dari waktu ke waktu. Mulai dari pengedepanan suara terbanyak dari pada musyawarah untuk mufakat di dalam sistem politik, sampai penjualan aset-aset negara kepada swasta dan pihak asing. Pada tahap awal memang baru sila kelima dan keempat yang dikebiri, namun nantinya tidak terlepas kemungkinan sila ketiga, kedua dan pertama akan dinodai (mungkin sudah terjadi). Begitu juga dengan pasal-pasal UUD 1945, satu persatu mulai diabaikan dan dilucuti. Hanya pasal-pasal yang bersesuaian dengan semangat liberalisme dan kapitalisme saja yang diusung dan dipopulerkan, seperti semangat kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Ini pun sepertinya hanya merupakan jalan tengah untuk menyenangkan masa pendukung demokrasi agar bisa diam dengan mainan baru yang bernama kebebasan. Selebihnya adalah penipuan besar dengan mengatasnamakan liberalisasi ekonomi yang pada hakikatnya adalah penguasaan sektor-sektor ekonomi kerakyatan ke dalam rangkulan kapital-kapital bermodal besar. Sangat jelas di sini pasal 33 UUD 1945 sudah dikebiri dan menjadi mandul.
Sejak lama penjajah dari bangsa Eropa sangat meminati alam Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam ini. Setelah kemerdekaan diraih dan kita berhasil melepaskan diri dari belengu kolonialisme dan imperialisme bangsa barat tersebut, ternyata kemudian kita hanya beralih dari suatu bentuk penjajahan yang lama ke bentuk penjajahan yang lain - ibarat lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya - yaitu imperialisme gaya baru. Pelakunya tidak lain adalah bangsa Barat juga, yaitu Amerika Serikat dan negara-negara sekutu ekonominya yang menganut liberalisme dan kapitalisme dalam bidang ekonomi dengan menggunakan demokrasi di bidang politik sebagai senjatanya.
Kalau di masa lampau kaum imperialis harus mendatangi dan menguasai tanah dan bangsa Indonesia secara langsung, di masa imperialisme gaya baru, mereka cukup menggunakan kaki tangannya, yaitu elit-elit politik, pakar-pakar politik dan ekonomi dari bangsa Indonesia sendiri. Orang-orang pintar dan pilihan tersebut dengan bersemangatnya mengusung prinsip-prinsip liberalisme dan kapitalisme, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Dengan menggunakan demokrasi sebagai senjata, rakyat dijanjikan kekuasaan semu yang absurd, demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Maka perselingkuhan terhadap Pancasila dan UUD 1945 pun dimulai.
Siapakah yang bertanggung jawab ?
Kekuasaan silih berganti dari masa ke masa. Pemerintahan yang satu bertukar ke pemerintahan yang berikutnya. Tapi apa lacur, tak ada seorang pemimpin pun yang menyadari kondisi ini, tak ada seorang penguasa pun yang mencoba mengangkat kaki bangsa Indonesia dari lumpur hitam ini. Pada akhirnya lumpur ini semakin menenggelamkan kita dalam sebuah skenario kematian, setiap gerak kaki dan tubuh kita tidak mengarah kepada keselamatan melainkan mendukung untuk terus tenggelam. Dapatkan bangsa Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman Liberalisme dan Kapitalisme ? Marilah kita menunggu keajaiban dari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar