Dalam sistematik demokrasi titah kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Keberadaan rakyat sebagai objek dan subjek dalam sistem tersebut sangatlah determinan, bagaimanakah keinginan rakyat yang sebenarnya. Hal tersebut haruslah ditelisik. Karena titik tengkar demokarasi yaitu pencarian satu titik yaitu apa yang dinamakan kehendak (suara) rakyat.
Apalagi ada ungkapan yang sangat terkenal mengatakan, Vox Populi Vox De,I, suara rakyat, suara Tuhan. Betapa agungnya titah rakyat dalam denyut berbangsa dan bernegara.
Indonesia yang mengunakan nahkoda kenegaraan berasaskan demokrasi pancasila seharusnya mengimplementasikan kata pepatah tersebut. Dalam sistem demokarasi kita menempatkan posisi Tuhan di atas ‘menara gading’, di atas segalanya, Tuhan adalah pemilik sekaligus pemilik kosmik, sehingga sebagai hamba harus taat pada titah-Nya.
Melanggar suara rakyat bararti mempunyai efek domino, melanggar suara Tuhan. Ketentuan itulah yang harus dipijak jika bangsa ini masih berjejak pada sistem demokarasi pancasila. Membaca situasi yang menimpa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sepertinya masih sekedar angan-angan untuk mewujutkan hal tersebut.
Polemik yang terjadi mengenai status penenetapan Sri Sultan Hamugkubono X yang menjadi pemilik tahta sah sebagai gubernur, terus direcoki pemerintah pusat, kendati suara rakyat masih menempatkan Sultan sebagai gubernur tanpa adanya pemilihan. Dimanakah demokarasi itu yang sebenarnya?
Bak mendatangkan bencana baru, pernyataan SBY meluncur curam yang semakin membuat warga DIY berdentumman. “Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi.”Begitulah kata Presiden kepada media.
Pernyataan SBY tersebut seperti lonceng yang membuat masyarakat Yogyakarta semakin berkecamuk. “Erupsi” politik tersebut semakin membuat masyarakat Yogya yang semakin terlunta-lunta, belum usai dengan uruasan Merapi, mereka harus berhadapan dengan “erupsi” yang digencarkan dari pusat.
Menelik demokarasi bangsa kita yang belum diterapkan secara prinsipil untuk mengubah mindset tersebut, hendaknya kita menoleh ke belakang (sejarah). Untuk mencanagkan lompatan ke depan seperti yang diajarkan Ir Seokarno yang terkenal dengan (Jasmerah) Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Meminjam bahasa dari Budiarto Shambazy Jasmerah justru jangan disalah artikan “sejarah saya memang” parah. Oleh sebab itulah Ir Soekarno mau bergandeng tangan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadikan wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersatu padu dengan NKRI dengan menghormati keistimewaan Yogyakarta. Karena kontribusi untuk menegakan NKRI Yogya sangatlah besar, bila dilihat dengan optik historis.
Mengaitkan mutakhir saat ini sudahkah dapat dikatatakan merealisasikan demokrasi pancasila, ketika suara rakyat tidak diperdengarkan lagi? Atau lebih tepatnya bisa dikatakan sebagai “demokrasi gincu”, demokrasi yang hanya mempertotonkan secara simbolis ritus-ritus yang berada di dalamnya, tetapi tidak merepresentasikan suara rakyat. Hal yang lebih ditonjolkan hanyalah atribut-atribut tanpa menjamah substansinya yang seharusnya setiap kebijakan bermuara pada rakyat. Karena hakekat demokrasi sebenarnya hanya dan untuk rakyat. Di manakah demokrasi pancasila itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar