Allah SWT adalah yang menciptakan segala sesuatu. Allah adalah Pencipta.. selain Allah adalah makhluknya.. Semua makhluk adalah makhluk ciptaan Allah. Perbuatan dan perkataan yang keluar dari makhluk tersebut juga ciptaan Allah, termasuk perbuatan dan perkataan manusia beserta sifatnya. Apabila manusia adalah ciptaan Allah, maka sifatnya juga ciptaan Allah. Ini termaktub dalam Al-Qur’an :
WALLOHU KHOLAQOKUM WA MAA TA’ MALUUN
Artinya : Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.
(QS. As-Shaffat : 96)
Ayat diatas menegaskan bahwa Allah yang menciptakan manusia dan yang menciptakan perbuatannya. Firman Allah “Wa Maa Ta’ Maluun” yang memiliki arti “Dan Apa Yang Kamu Perbuat Itu”, didalamnya terdapat perbedaan pendapat tentang (Maa), apakah ia Mashdar atau Maushul ? Tetapi apapun maknanya ia tetap menunjukkan bahwa perbuatan manusia termasuk juga ciptaan Allah.
Inilah empat tingkatan beriman kepada takdir, dan tidaklah sempurna iman seseorang jika tanpa mengimaninya. Ketahuilah , bahwasanya iman kepada Takdir tidak menafikan Ikhtiar (usaha), bahkan ikhtiar merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh syari’at. Dan itu terjadi dengan takdir, karena sebab menghasilkan sesuatu yang disebabkannya (kausalitas / hukum sebab-akibat). Itulah sebab ketika Amirul Mukmin Umar Bin Al-Khattab berangkat ke Syam dan ditengah perjalanan diberitahukan bahwa di Syam telah berjangkit penyakit Tha’un, maka beliau bermusyawarah dengan para Shabat, apakah dia melanjutkan perjalanannya ata kembali ke Madinah ? Orang-orang berselisih dan keputusan terakhir mereka adalah kembali ke Madinah. Ketika hendak kembali, beliau didatangi oleh Abu Ubaidah Amir Bin Al-Jarrah. Umar sangat menghormati dan menghargai beliau, dia berkata : “Wahai Amirul Mukmin ! Bagaimana mungkin anda kembali ke Madinah ? Apakah sebagai pelarian takdir Allah “ dan Umar menjawab : “Kami melarikan diri dari takdir Allah menuju takdir Allah”.
Setelah itu Abdurrahman Bin Auf datang, yang sebelumnya tidak hadir karena sesuatu keperluan, dia membacakan Hadits kepada mereka bahwasanya Rosululloh bersabda :
IDZA SAMI’TUM BIHI FII ARDHIN FALAA TUQODDIMUU ‘ALAIHAA
Artinya : Apabila kalian mendengar dia (wabah Tha’un) berjangkit disebuah tempat, maka kalian jangan mendatanginya. (HR Ahmad)
Kesimpulannya adalah perkataan Umar “Kami melarikan diri dari takdir Allah menuju takdir Allah” adalah dalil tentang ikhtiar yang merupakan bagian dari takdir Allah SWT. Kita mengetahui seandainya ada orang berkata : “saya beriman kepada takdir Allah dan dia akan mengaruniai kepada saya anak tanpa istri ” niscaya ia dianggap gila. Sebagaimana ia berkata pula : “saya beriman kepada takdir Allah dan say tidak usah bekerja untuk mendapatkan rizqi Allah dan saya juga tidak usah melakukan usaha yang menyebabkan datangnya rizqi” niscaya iapun dianggap orang yang bodoh. Dengan demikian beriman kepada takdir tidak menafikan usaha yang benar. Adapun angan-angan yang dianggap oleh pelakunya sebagai sebab (ikhtiar), padahal bukan demikian, maka ia dianggap tidak serius dan tidak perlu diperhatikan.
Sebagai catatan, beriman kepada takdir ada kerumitannya walau sebenarnya tidak rumit, seperti perkataan seseorang : jika perbuatan termasuk takdir Allah, bagaimana aku dihukum karena maksi’at, padahal itu termasuk takdir Allah. Jawaban untuk kasus ini adalah bahwasanya anda tidak boleh berhujjah dengan takdir dalam hal maksi’at kepada Allah, karena Allah tidak pernah memaksa untuk melakukan kemaksiatan. Ketika anda melakukannya, anda tidak mengetahui kalau itu telah ditakdirkan kepada anda. Manusia tidak pernah mengetahui takdirnya, kecuali setelah terjadi. Kenapa sebelum melakukan maksi’at, manusia tidak memperkirakan bahwa Allah mentakdirkan baginya sebuah keta’atan, sehingga keta’atanlah yang dilakukan ?
Sebagaimana anda dalam melakukan urusan keduniaan, anda berusaha untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik dan menjauhi yang dianggap jelek. Kenapa anda tidak melakukan hal yang sama dalam masalah akhirat ? Saya tidak percaya ada orang yang memilih jalan sulit (berbahaya) kemudian mengatakan ini telah ditakdirkan kepada saya. Sebaliknya anda pasti memilih jalan yang mudah dan aman. Ini tidak berbeda dengan orang yang mengatakan kepada anda bahwa surga memiliki jalan dan neraka juga memiliki jalan. Jika anda menempuh jalan ke neraka, maka anda seperti orang yang menempuh jalan berbahaya dan menakutkan.
Seandainya manusia boleh memiliki hujjah (alasan) melakukan kemaksiatan dengan takdir, maka hujjah (alasan) ini menjadi gugur dengan diutusnya Rosul, sebagaiman tertuang dalam Al-Qur’an :
RUSULAM MUBASYIRIINA WA MUNADZIRIINA LIALLA YAKUUNA LINNAASI ‘ALALLOHI HUJJATUN BA’DARROSULI WAKAANALLOHU ‘AJIIJA HAKIIMA
Artinya : (Mereka Kami Utus) Selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa : 165)
Ketahuilah bahwasanya beriman kepada takdir memiliki pengaruh yang jelas bagi kehidupan manusia dan dalam hatinya, jika anda mengimani bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir Allah, maka ketika mendapatkan nikmat anda akan bersyukur, anda tidak akan membanggakan diri, karena semuanya ini tidak didapatkan dengan daya dan kekuatan anda melainkan anda beriman bahwasanya semua ini adalah sebab, bila anda telah melakukan sebab untuk mendapatkan apa yang menyenangkan anda, maka anda akan semakin bersyukur atas nikmat Allah.
Hal ini juga akan mendorong anda untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT sesuai dengan perintah Allah kepada anda, anda tidak akan menganggap memiliki keutamaan tanpa pemberian dari Allah, sebaliknya anda akan melihat bahwa hanya Allah-lah yang memiliki karunia.
BALILLAHU YAMUNNU ‘ALAIKUM AN HADA KUM LII MAANI INGKUNTUM SHODIQIIN
Artinya : Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan, jika kamu adalah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujurat : 17)
Begitu juga ketika mendapatkan musibah, maka anda harus beriman kepada Allah, menyerahkan diri kepada-Nya dan tidak menyesal dengan semua itu serta tidak merasa rugi, perhatikan sabda Rasul :
Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah, walaupun pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah mencari yang bermanfa’at bagimu. Mohon pertolongan kepada Allah dan jangan sekali-sekali bersikap lemah jika kamu ditimpa kegagalan, janganlah mengatakan seandainya akau berbuat demikian tentu tidak akan begini atau begitu, tetapi katakanlah ini telah ditakdirkan Allah dan apa yang Dia inginkan pasti terjadi. Sedang ucapan seandainya membuka (pintu) perbuatan setan. (HR. Muslim)
Demikian pula didalam Al-Qur’an surat Al-Hadid ayat 22 dan 23 dijelaskan sebagai berikut :
Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Orang yang tidak beriman kepada takdir, maka tidak diragukan lagi ia akan marah dan menyesal ketika mendapat musibah. Setan membukakan baginya segala pintu, dia akan senang dan bangga bila mendapat hal-hal yang menyenangkan. Dan bila beriman kepada takdir, maka akan menghalangi semua ahal tersebut.
WALLOHU KHOLAQOKUM WA MAA TA’ MALUUN
Artinya : Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.
(QS. As-Shaffat : 96)
Ayat diatas menegaskan bahwa Allah yang menciptakan manusia dan yang menciptakan perbuatannya. Firman Allah “Wa Maa Ta’ Maluun” yang memiliki arti “Dan Apa Yang Kamu Perbuat Itu”, didalamnya terdapat perbedaan pendapat tentang (Maa), apakah ia Mashdar atau Maushul ? Tetapi apapun maknanya ia tetap menunjukkan bahwa perbuatan manusia termasuk juga ciptaan Allah.
Inilah empat tingkatan beriman kepada takdir, dan tidaklah sempurna iman seseorang jika tanpa mengimaninya. Ketahuilah , bahwasanya iman kepada Takdir tidak menafikan Ikhtiar (usaha), bahkan ikhtiar merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh syari’at. Dan itu terjadi dengan takdir, karena sebab menghasilkan sesuatu yang disebabkannya (kausalitas / hukum sebab-akibat). Itulah sebab ketika Amirul Mukmin Umar Bin Al-Khattab berangkat ke Syam dan ditengah perjalanan diberitahukan bahwa di Syam telah berjangkit penyakit Tha’un, maka beliau bermusyawarah dengan para Shabat, apakah dia melanjutkan perjalanannya ata kembali ke Madinah ? Orang-orang berselisih dan keputusan terakhir mereka adalah kembali ke Madinah. Ketika hendak kembali, beliau didatangi oleh Abu Ubaidah Amir Bin Al-Jarrah. Umar sangat menghormati dan menghargai beliau, dia berkata : “Wahai Amirul Mukmin ! Bagaimana mungkin anda kembali ke Madinah ? Apakah sebagai pelarian takdir Allah “ dan Umar menjawab : “Kami melarikan diri dari takdir Allah menuju takdir Allah”.
Setelah itu Abdurrahman Bin Auf datang, yang sebelumnya tidak hadir karena sesuatu keperluan, dia membacakan Hadits kepada mereka bahwasanya Rosululloh bersabda :
IDZA SAMI’TUM BIHI FII ARDHIN FALAA TUQODDIMUU ‘ALAIHAA
Artinya : Apabila kalian mendengar dia (wabah Tha’un) berjangkit disebuah tempat, maka kalian jangan mendatanginya. (HR Ahmad)
Kesimpulannya adalah perkataan Umar “Kami melarikan diri dari takdir Allah menuju takdir Allah” adalah dalil tentang ikhtiar yang merupakan bagian dari takdir Allah SWT. Kita mengetahui seandainya ada orang berkata : “saya beriman kepada takdir Allah dan dia akan mengaruniai kepada saya anak tanpa istri ” niscaya ia dianggap gila. Sebagaimana ia berkata pula : “saya beriman kepada takdir Allah dan say tidak usah bekerja untuk mendapatkan rizqi Allah dan saya juga tidak usah melakukan usaha yang menyebabkan datangnya rizqi” niscaya iapun dianggap orang yang bodoh. Dengan demikian beriman kepada takdir tidak menafikan usaha yang benar. Adapun angan-angan yang dianggap oleh pelakunya sebagai sebab (ikhtiar), padahal bukan demikian, maka ia dianggap tidak serius dan tidak perlu diperhatikan.
Sebagai catatan, beriman kepada takdir ada kerumitannya walau sebenarnya tidak rumit, seperti perkataan seseorang : jika perbuatan termasuk takdir Allah, bagaimana aku dihukum karena maksi’at, padahal itu termasuk takdir Allah. Jawaban untuk kasus ini adalah bahwasanya anda tidak boleh berhujjah dengan takdir dalam hal maksi’at kepada Allah, karena Allah tidak pernah memaksa untuk melakukan kemaksiatan. Ketika anda melakukannya, anda tidak mengetahui kalau itu telah ditakdirkan kepada anda. Manusia tidak pernah mengetahui takdirnya, kecuali setelah terjadi. Kenapa sebelum melakukan maksi’at, manusia tidak memperkirakan bahwa Allah mentakdirkan baginya sebuah keta’atan, sehingga keta’atanlah yang dilakukan ?
Sebagaimana anda dalam melakukan urusan keduniaan, anda berusaha untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik dan menjauhi yang dianggap jelek. Kenapa anda tidak melakukan hal yang sama dalam masalah akhirat ? Saya tidak percaya ada orang yang memilih jalan sulit (berbahaya) kemudian mengatakan ini telah ditakdirkan kepada saya. Sebaliknya anda pasti memilih jalan yang mudah dan aman. Ini tidak berbeda dengan orang yang mengatakan kepada anda bahwa surga memiliki jalan dan neraka juga memiliki jalan. Jika anda menempuh jalan ke neraka, maka anda seperti orang yang menempuh jalan berbahaya dan menakutkan.
Seandainya manusia boleh memiliki hujjah (alasan) melakukan kemaksiatan dengan takdir, maka hujjah (alasan) ini menjadi gugur dengan diutusnya Rosul, sebagaiman tertuang dalam Al-Qur’an :
RUSULAM MUBASYIRIINA WA MUNADZIRIINA LIALLA YAKUUNA LINNAASI ‘ALALLOHI HUJJATUN BA’DARROSULI WAKAANALLOHU ‘AJIIJA HAKIIMA
Artinya : (Mereka Kami Utus) Selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa : 165)
Ketahuilah bahwasanya beriman kepada takdir memiliki pengaruh yang jelas bagi kehidupan manusia dan dalam hatinya, jika anda mengimani bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir Allah, maka ketika mendapatkan nikmat anda akan bersyukur, anda tidak akan membanggakan diri, karena semuanya ini tidak didapatkan dengan daya dan kekuatan anda melainkan anda beriman bahwasanya semua ini adalah sebab, bila anda telah melakukan sebab untuk mendapatkan apa yang menyenangkan anda, maka anda akan semakin bersyukur atas nikmat Allah.
Hal ini juga akan mendorong anda untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT sesuai dengan perintah Allah kepada anda, anda tidak akan menganggap memiliki keutamaan tanpa pemberian dari Allah, sebaliknya anda akan melihat bahwa hanya Allah-lah yang memiliki karunia.
BALILLAHU YAMUNNU ‘ALAIKUM AN HADA KUM LII MAANI INGKUNTUM SHODIQIIN
Artinya : Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan, jika kamu adalah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujurat : 17)
Begitu juga ketika mendapatkan musibah, maka anda harus beriman kepada Allah, menyerahkan diri kepada-Nya dan tidak menyesal dengan semua itu serta tidak merasa rugi, perhatikan sabda Rasul :
Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah, walaupun pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah mencari yang bermanfa’at bagimu. Mohon pertolongan kepada Allah dan jangan sekali-sekali bersikap lemah jika kamu ditimpa kegagalan, janganlah mengatakan seandainya akau berbuat demikian tentu tidak akan begini atau begitu, tetapi katakanlah ini telah ditakdirkan Allah dan apa yang Dia inginkan pasti terjadi. Sedang ucapan seandainya membuka (pintu) perbuatan setan. (HR. Muslim)
Demikian pula didalam Al-Qur’an surat Al-Hadid ayat 22 dan 23 dijelaskan sebagai berikut :
Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Orang yang tidak beriman kepada takdir, maka tidak diragukan lagi ia akan marah dan menyesal ketika mendapat musibah. Setan membukakan baginya segala pintu, dia akan senang dan bangga bila mendapat hal-hal yang menyenangkan. Dan bila beriman kepada takdir, maka akan menghalangi semua ahal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar