Pages

Jumat, 17 Juni 2011

Ideologi Negeriku Tergadaikan




      Bangsa kita gaduh oleh sejumlah kasus skandal yang merugikan dan merusak tatanan kenegaraan. Menggurita di lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif). 13 tahun Reformasi yang membuka ruang bagi siapa saja untuk turut berpartisipasi. Mereka yang tanpa jaminan integritas moral dan skill, akhirnya  mampu menguasai struktur dan sektor vital di Negara ini karena jurus sakti
sebagai pemilik sumberdaya (kekuasaan, massa dan uang).Tidak hadirnya ideologi dicerminkan oleh laku pragmatisme politisi, semakin memperparah syahwat kekuasaan yang dengan sekejap mampu dilegitimasi oleh sistem.

      Dukungan mayoritas yang telah direkayasa dengan materi (pengusaha) dibackup kekuasaan (birokrat). Partai politik menjadi sekadar tumpangan yang dengan mudah ditinggalkan jika hasrat telah tercapai. Lihatlah begitu banyak yang menjadi politisi kutu loncat. Malah ada yang memelihara, nahas!

      Diperparah lagi oleh kapasitas leadership yang lemah. Tidak hadirnya keberanian dan ketegasan, menjadi celah untuk berbuat di luar koridor hukum –agama, negara, budaya dan sosial-.

     Agenda mendesak bagi partai politik sebagai instrumen demokrasi, adalah menyiapkan kader-kader dengan basis ideologi yang mengakar. Mereka hanya bisa digembleng dalam sistem kaderisasi yang ketat.

      Bukan politisi dan pemimpin yang dihasilkan secara instan karena kemampuan finansial. Seperti para politisi kutu loncat, yang saban hari akrab dengan  berbagai skandal memalukan. Demokrasi dibajak!

      Di sinilah salah satu titik krusial masa depan demokrasi. Karena keterbukaan informasi, secara langsung mengedukasi masyarakat yang telah jenuh dengan lakon politisi karbitan yang hanya membawa egoisme kelompok.

      Dalam konteks marketing politik, diferensiasi partai politik menjadi fundamen magnetik. Partai yang berani melawan arus politik pragmatis tentu menjadi osae yang dinanti.

      Persepsi kegagalan rezim SBY menciptakan pemerintahan bersih yang dikonstruk oleh blow up media, tergambar dari ketidakpuasan masyarakat kian meruncing. Termasuk munculnya kerinduan terhadap Orde Baru.

      Kenyataan ini bisa menjadi bom waktu yang akan menimbulkan ledakan apatisme kolektif rakyat terhadap demokrat, (pelaku demokrasi). Apatisme menuju jurang demokrasi delegitimatif. Demokrasi elitis tanpa partisipasi rakyat.

      Apa yang diperjuangkan berdarah-darah oleh mahasiswa dan elemen civil society lainnya melalui reformasi 1998, bisa jadi tidak berarti lagi. Karena kini Demokrasi dikangkangi oleh mereka yang tidak siap. Krisis moralitas dan kapasitas leadership.

      Disinilah pentingnya moral dan ideologi sebagai pembeda (diferensiasi). Sel organik dan antitesis terhadap kontruksi politik liberal yang redusir.

      Sebagai generasi muda yang akan mengambil estafet kepemimpinan bangsa, pemuda hendaknya menyiapkan diri. Tantangan futuristik pemuda, menempa dua sisi integral. Integritas moral dan leadership yang semakain langkah. Wallahu'alam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar