“Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”
Paragraf di atas merupakan penggalan dari pidato Bung Karno di harapan sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Entah sengaja atau tidak, beliau menempatkan butir tentang ketuhanan pada urutan terakhir. Sebagai seorang negarawan yang melihat pentingnya semangat kebangsaan bagi terbentuknya sebuah negara merdeka namun terdiri dari berbagai suku dan bahasa, maka wajar saja jika Bung Karno mengedepankan semangat kebangsaan dalam pemikirannya tentang dasar negara.
Dalam perjalanan panjangnya, Pancasila sebagaimana diusulkan oleh Bung Karno berubah urutan dan poin. Katanya sih, rumusan yang ada sekarang merupakan rumusan yang diterima oleh para “bapak bangsa” kita. Jadi, Bung Karno memang benar menemukan Pancasila (meski menurut pengakuan beliau istilah itupun dari petunjuk seorang teman), namun bukan Pancasila yang seperti sekarang kita miliki. Versi resmi yang kita miliki meletakkan sila “Ketuhanan,” dengan tambahan “Yang Maha Esa” di sila pertama.
Saya ingin sedikit membahas tentang sila “ketuhanan” yang mendapat “bonus” ini. Sebagai seorang intelek yang sedang memikirkan dasar negara, Bung Karno tentu tahu bahwa seluruh penghuni nusantara adalah orang-orang yang memeluk suatu agama ataupun kepercayaan tertentu. Masalahnya, tak semua agama dan atau kepercayaan yang ada itu monotheis. Konsep Tuhan tak sama antara satu agama/kepercayaan dengan agama/kepercayaan lainnya. Oleh karena itulah, Bung Karno pada awalnya tak terpikir untuk mencantumkan “Yang Maha Esa” dalam rumusannya.
Sebagai seorang negarawan, Bung Karno melihat religiusitas sebagai hal yang penting, namun bukan yang terpenting dalam menjalankan negara. Spiritualitaslah yang terpenting, dan spiritualitas itulah yang termaktub dalam nilai “kebangsaan”, “internasionalisme”, “mufakat”, “kesejahteraan”, dan juga “ketuhanan.” Beliau bukanlah seorang spiritualis (penyembah roh), melainkan seorang pemeluk agama yang spiritual (rohani). Apakah seseorang menyembah “Tuhan yang Maha Esa” atau tidak, itu bukanlah hal yang mutlak. Yang penting adalah apakah seorang warga negara Indonesia itu memiliki iman terhadap Tuhan, entah itu Tuhan yang esa atau bukan.
Itu adalah penafsiran saya terhadap sila “ketuhanan” yang ditawarkan oleh Bung Karno. Kita tak pernah tahu apa maksud beliau dengan sila itu.
Sekarang, saya ingin membahas tentang urutan Pancasila. Mengacu pada pidato Bung Karno yang saya kutip di atas, rumusan pertama dalam Pancasila adalah kebangsaan, yang kemudian disusul dengan internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan. Kita lihat bahwa beliau mendudukkan ketuhanan pada urutan terakhir dalam pidatonya. Dan saya sangat menganjurkan (meski nampaknya mustahil) agar Pancasila yang kita miliki saat ini disinkronkan dengan Pancasila versi Bung Karno. Saya menganjurkan agar sila Ketuhanan yang Maha Esa itu ditempatkan sebagai sila ke-lima. Mengapa?
Sila Ketuhanan Menihilkan Sila Lainnya
Salah satu alasan saya adalah fakta tentang maraknya berbagai kekerasan dan kejahatan kemanusiaan, termasuk terorisme, di negeri ini yang dilakukan atas dasar agama. Loh, apa hubungannya? Saya melihat hubungan yang cukup signifikan dari penempatan nilai ketuhanan di urutan pertama dengan sikap “religiusitas berlebihan” yang pada akhirnya menihilkan makna kemanusiaan, persatuan/kebangsaan, musyawarah, dan keadilan sosial. Ekstremisme beragama telah menjadi semacam duri dalam daging di dalam kehidupan kebangsaan kita, yang sepertinya tak sanggup diatasi oleh pemerintah kita yang hanya bisa sedih dan prihatin ini.
Atas nama agama (Tuhan, katanya), seseorang merasa berhak untuk menganiaya bahkan membantai sesamanya. Saya tak perlu sebutkan contoh-contohnya, selain saya pikir semua orang yang hidup di Indonesia tahu, juga demi menghormati keluarga korban. Ketuhanan, dalam hal ini, telah menihilkan kemanusiaan. Dalam sebuah tanggapan di dalam salah satu tulisan di Kompasiana yang membahas tentang kekejaman Israel, disebutkan bahwa orang-orang yang tidak beragama tertentu tidak akan mendukung Palestina, karena mereka semua adalah binatang (baca: bukan manusia). Sentimen agama yang berlebihan bisa membuat seseorang melihat pemeluk agama lain sebagai binatang yang bisa disakiti atau dibunuh tanpa perlu merasa bersalah. Saya pernah melihat sebuah video “seram” di YouTube tentang bagaimana seorang anak kecil ditemani beberapa perempuan dan laki-laki, disemangati untuk menggorok leher seorang laki-laki yang diikat di depannya, dengan iringan sorak-sorai menyebut nama Tuhan.
Baru-baru ini kita juga digelisahkan dengan isu tentang sekelompok orang yang ingin mendirikan negara tersendiri yang berdasarkan agama. Kita tahu isu apa itu. Organisasi ini membuat banyak orang tua menjadi khawatir kalau-kalau anak mereka menjadi korban hipnotis atau perekrutan dari jaringan ini. Jaringan tersebut bergerak dengan sumbu agama. Kita juga tahu bahwa ada beberapa aliran dalam agama/kepercayaan di negeri ini yang tidak membolehkan pemeluknya untuk memberikan penghormatan bendera atau menyanyikan lagu kebangsaan, karena itu bertentangan dengan ajaran agama (versi pemimpin tentunya). Persatuan hanya berlaku bagi orang-orang yang seagama atau sealiran saja. Ketuhanan, dalam hal ini, telah menihilkan persatuan.
Bagi Ekstremis agama, kata musyawarah sama sekali tidak dikenal. Kata Tuhan (yang diwakilkan kepada pemimpin agama) lah yang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati. Hikmat atau kebijaksanaan atau pertimbangan-pertimbangan manusia tidak penting. Firman Tuhanlah yang penting, meski firman itu sebenarnya juga penafsiran dari sang pemimpin agama. Apa yang dikatakan Tuhan tak bisa ditawar.
Demikian juga halnya dengan keadilan sosial atau kesejahteraan masyarakat tidak mendapat tempat dalam iklim pemikiran seorang yang “terlalu bersemangat” dalam menjalankan sila ketuhanan. Kesejahteraan itu hanya untuk saudara-saudari yang sealiran atau seagama dengan pemimpin yang berkuasa. Sejarah membuktikan bagaimana ketika kaisar Romawi memutuskan Kristen sebagai dasar negara, segala penganiayaan yang tadinya ditujukan kepada para pemeluk kekristenan kemudian justru berbalik kepada mereka yang tidak memeluk kekristenan. Kita juga tahu bagaimana seorang kepala daerah bersikeras melarang peribadatan sekelompok warganya yang beda agama dengan berbagai alasan yang terkesan dibuat-buat. Ketuhanan berpotensi menihilkan keadilan sosial atau kesejahteraan masyarakat.
Penutup
Ibu pertiwi sering direpotkan oleh berbagai permasalahan “tidak penting” yang diakibatkan oleh karena ketuhanan ini. Kita seharusnya menjadi bangsa yang maju, yang bisa bersaing di kancah internasional sebagaimana mimpi Bung Karno. Namun, ketermelekatan yang terlalu kuat pada butir ketuhanan menjadikan bangsa ini sampai-sampai mendapatkan surat “teguran” dari PBB untuk masalah Hak Asasi Manusia yang paling hakiki, yakni beriman dan beribadah menurut iman tersebut. Oleh karena itulah maka saya memandang sangat baik jika Pancasila kita di-“format ulang” supaya menjadi seperti aslinya. Biarlah kita besar sebagai bangsa yang mengedepankan kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan, daripada bangkrut sebagai bangsa yang mengedepankan ketuhanan. Untuk apa kita berbangga diri sebagai bangsa yang agamis sementara sikap dan tindakan kita seringkali dicemooh dan dikecam sebagai tindakan yang brutal dan sewenang-wenang, yang pada hakekatnya menyangkali keberagamaan kita sendiri? Salam kebangsaan!
=======================o0o=======================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar