Pages

Senin, 30 Mei 2011

Kembalikan Pancasila Versi Bung Karno !


BK & Pancasila/blogspot
Bung Karno & Pancasila

“Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”

Paragraf di atas merupakan penggalan dari pidato Bung Karno di harapan sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Entah sengaja atau tidak, beliau menempatkan butir tentang ketuhanan pada urutan terakhir. Sebagai seorang negarawan yang melihat pentingnya semangat kebangsaan bagi terbentuknya sebuah negara merdeka namun terdiri dari berbagai suku dan bahasa, maka wajar saja jika Bung Karno mengedepankan semangat kebangsaan dalam pemikirannya tentang dasar negara.

Dalam perjalanan panjangnya, Pancasila sebagaimana diusulkan oleh Bung Karno berubah urutan dan poin. Katanya sih, rumusan yang ada sekarang merupakan rumusan yang diterima oleh para “bapak bangsa” kita. Jadi, Bung Karno memang benar menemukan Pancasila (meski menurut pengakuan beliau istilah itupun dari petunjuk seorang teman), namun bukan Pancasila yang seperti sekarang kita miliki. Versi resmi yang kita miliki meletakkan sila “Ketuhanan,” dengan tambahan “Yang Maha Esa” di sila pertama.

Saya ingin sedikit membahas tentang sila “ketuhanan” yang mendapat “bonus” ini. Sebagai seorang intelek yang sedang memikirkan dasar negara, Bung Karno tentu tahu bahwa seluruh penghuni nusantara adalah orang-orang yang memeluk suatu agama ataupun kepercayaan tertentu. Masalahnya, tak semua agama dan atau kepercayaan yang ada itu monotheis. Konsep Tuhan tak sama antara satu agama/kepercayaan dengan agama/kepercayaan lainnya. Oleh karena itulah, Bung Karno pada awalnya tak terpikir untuk mencantumkan “Yang Maha Esa” dalam rumusannya.

Sebagai seorang negarawan, Bung Karno melihat religiusitas sebagai hal yang penting, namun bukan yang terpenting dalam menjalankan negara. Spiritualitaslah yang terpenting, dan spiritualitas itulah yang termaktub dalam nilai “kebangsaan”, “internasionalisme”, “mufakat”, “kesejahteraan”, dan juga “ketuhanan.” Beliau bukanlah seorang spiritualis (penyembah roh), melainkan seorang pemeluk agama yang spiritual (rohani). Apakah seseorang menyembah “Tuhan yang Maha Esa” atau tidak, itu bukanlah hal yang mutlak. Yang penting adalah apakah seorang warga negara Indonesia itu memiliki iman terhadap Tuhan, entah itu Tuhan yang esa atau bukan.

Itu adalah penafsiran saya terhadap sila “ketuhanan” yang ditawarkan oleh Bung Karno. Kita tak pernah tahu apa maksud beliau dengan sila itu.

Sekarang, saya ingin membahas tentang urutan Pancasila. Mengacu pada pidato Bung Karno yang saya kutip di atas, rumusan pertama dalam Pancasila adalah kebangsaan, yang kemudian disusul dengan internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan. Kita lihat bahwa beliau mendudukkan ketuhanan pada urutan terakhir dalam pidatonya. Dan saya sangat menganjurkan (meski nampaknya mustahil) agar Pancasila yang kita miliki saat ini disinkronkan dengan Pancasila versi Bung Karno. Saya menganjurkan agar sila Ketuhanan yang Maha Esa itu ditempatkan sebagai sila ke-lima. Mengapa?

Sila Ketuhanan Menihilkan Sila Lainnya

Salah satu alasan saya adalah fakta tentang maraknya berbagai kekerasan dan kejahatan kemanusiaan, termasuk terorisme, di negeri ini yang dilakukan atas dasar agama. Loh, apa hubungannya? Saya melihat hubungan yang cukup signifikan dari penempatan nilai ketuhanan di urutan pertama dengan sikap “religiusitas berlebihan” yang pada akhirnya menihilkan makna kemanusiaan, persatuan/kebangsaan, musyawarah, dan keadilan sosial. Ekstremisme beragama telah menjadi semacam duri dalam daging di dalam kehidupan kebangsaan kita, yang sepertinya tak sanggup diatasi oleh pemerintah kita yang hanya bisa sedih dan prihatin ini.

Atas nama agama (Tuhan, katanya), seseorang merasa berhak untuk menganiaya bahkan membantai sesamanya. Saya tak perlu sebutkan contoh-contohnya, selain saya pikir semua orang yang hidup di Indonesia tahu, juga demi menghormati keluarga korban. Ketuhanan, dalam hal ini, telah menihilkan kemanusiaan. Dalam sebuah tanggapan di dalam salah satu tulisan di Kompasiana yang membahas tentang kekejaman Israel, disebutkan bahwa orang-orang yang tidak beragama tertentu tidak akan mendukung Palestina, karena mereka semua adalah binatang (baca: bukan manusia). Sentimen agama yang berlebihan bisa membuat seseorang melihat pemeluk agama lain sebagai binatang yang bisa disakiti atau dibunuh tanpa perlu merasa bersalah. Saya pernah melihat sebuah video “seram” di YouTube tentang bagaimana seorang anak kecil ditemani beberapa perempuan dan laki-laki, disemangati untuk menggorok leher seorang laki-laki yang diikat di depannya, dengan iringan sorak-sorai menyebut nama Tuhan.

Baru-baru ini kita juga digelisahkan dengan isu tentang sekelompok orang yang ingin mendirikan negara tersendiri yang berdasarkan agama. Kita tahu isu apa itu. Organisasi ini membuat banyak orang tua menjadi khawatir kalau-kalau anak mereka menjadi korban hipnotis atau perekrutan dari jaringan ini. Jaringan tersebut bergerak dengan sumbu agama. Kita juga tahu bahwa ada beberapa aliran dalam agama/kepercayaan di negeri ini yang tidak membolehkan pemeluknya untuk memberikan penghormatan bendera atau menyanyikan lagu kebangsaan, karena itu bertentangan dengan ajaran agama (versi pemimpin tentunya). Persatuan hanya berlaku bagi orang-orang yang seagama atau sealiran saja. Ketuhanan, dalam hal ini, telah menihilkan persatuan.
Bagi Ekstremis agama, kata musyawarah sama sekali tidak dikenal. Kata Tuhan (yang diwakilkan kepada pemimpin agama) lah yang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati. Hikmat atau kebijaksanaan atau pertimbangan-pertimbangan manusia tidak penting. Firman Tuhanlah yang penting, meski firman itu sebenarnya juga penafsiran dari sang pemimpin agama. Apa yang dikatakan Tuhan tak bisa ditawar.

Demikian juga halnya dengan keadilan sosial atau kesejahteraan masyarakat tidak mendapat tempat dalam iklim pemikiran seorang yang “terlalu bersemangat” dalam menjalankan sila ketuhanan. Kesejahteraan itu hanya untuk saudara-saudari yang sealiran atau seagama dengan pemimpin yang berkuasa. Sejarah membuktikan bagaimana ketika kaisar Romawi memutuskan Kristen sebagai dasar negara, segala penganiayaan yang tadinya ditujukan kepada para pemeluk kekristenan kemudian justru berbalik kepada mereka yang tidak memeluk kekristenan. Kita juga tahu bagaimana seorang kepala daerah bersikeras melarang peribadatan sekelompok warganya yang beda agama dengan berbagai alasan yang terkesan dibuat-buat. Ketuhanan berpotensi menihilkan keadilan sosial atau kesejahteraan masyarakat.

Penutup
Ibu pertiwi sering direpotkan oleh berbagai permasalahan “tidak penting” yang diakibatkan oleh karena ketuhanan ini. Kita seharusnya menjadi bangsa yang maju, yang bisa bersaing di kancah internasional sebagaimana mimpi Bung Karno. Namun, ketermelekatan yang terlalu kuat pada butir ketuhanan menjadikan bangsa ini sampai-sampai mendapatkan surat “teguran” dari PBB untuk masalah Hak Asasi Manusia yang paling hakiki, yakni beriman dan beribadah menurut iman tersebut. Oleh karena itulah maka saya memandang sangat baik jika Pancasila kita di-“format ulang” supaya menjadi seperti aslinya. Biarlah kita besar sebagai bangsa yang mengedepankan kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan, daripada bangkrut sebagai bangsa yang mengedepankan ketuhanan. Untuk apa kita berbangga diri sebagai bangsa yang agamis sementara sikap dan tindakan kita seringkali dicemooh dan dikecam sebagai tindakan yang brutal dan sewenang-wenang, yang pada hakekatnya menyangkali keberagamaan kita sendiri? Salam kebangsaan!
=======================o0o=======================

Rabu, 18 Mei 2011

Kesabaran di Dalam Hati


  • Mereka yang memiliki keteguhan hati tidak akan mudah putus asa, tindakan nya selalu tenang, tanpa buru-buru ataupun bimbang karena mereka sadar bahwa sukses adalah masalah waktu saja. Perjalananan hidup itu selalu ada cobaan, karena itu jalanilah hidup dengan keteguhan hati dan kesabaran.
  • Didunia ini tidak seorangpun unggul dalam segala bidang setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karena itu dalam menjalani kehidupan ini manusia harus bekerjasama secara harmonis untuk saling melengkapi, saling tolong menolong, saling memancarkan kasih sayang dan menjauhi keserakahan, saling membenci dan mendendam.
  • Apabila orang tetap konsisten pada tekadnya yang baik dan mentaati hukum alam, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam dalam hidup ini, Rezeki dan keberuntungan akan datang bila saatnya telah tiba,tanpa harus direkayasa.
  • Manusia memang ditakdirkan untuk tunduk pada dimensi waktu dan ruang, sehingga kebaikan dan keberhasilan yang kita harapkan akan datang apabila saatnya telah tiba. Jadi bersabarlah apabila saatnya telah tiba. Jadi bersabarlah apabila mengharapkan suatu kebaikan. Tidak perlu merekayasa dengan cari jalan pintas yang menghalalkan cara yang kotor. Segala sesuatu yang diperoleh secara tidak wajar, apalagi telah sangat merugikan orang banyak, pasti akan mendatangkan malapetaka bagi orang itu di kemudian hari.
  • Ketahuilah orang yang suka berkeluh kesah justru tidak akan mendapatkan simpati, tetapi cemooh dan sindiran. Lebih baik kita diam tetapi melakukan introspeksi, sambil tetap tekun dan sabar menanti saat munculnya momentum untuk bertindak menuju perbaikan.  
  • “Berdiam diri adalah emas”, jadi kalau orang mencaci maki atau menfitnah kita, dan kita mampu “berdiam diri” maka yang sakit perasannya adalah orang itu, bukan diri kita. Menghadapi orang yang sedang marah sebaiknya kita bersikap mengalah, karena dengan mengalah dan rendah hati itu tidak berarti kita akan kalah, bahkan justru lebih berkemungkinan menang.
  • Pemimpin yang arif dan bijak tidak pernah bereaksi terlebih dahulu sebelum dia mengetahui secara pasti apa yang sebenarnya terjadi. Sedangkan pemimpin yang karbitan atau murahan selalu cepat-cepat bereaksi dengan mengeluarkan pendapat, “biasanya tegas tapi ngawur” asal beraksi dulu. Itulah yang membuat keadaan menjadi kacau dan tegang.Pandanglah hidup didunia ini dari sudut yang cerah, maka kehidupan akan benar-benar cerah. Pandanglah dari sudut toleransi dan kebersamaan , maka segala sesuatu akan nyaman penuh kedamaian dan kesejukan . Banyak orang gemar menciptakan neraka didalam kehidupan dimuka bumi ini, umumnya dengan dalih agama yang direkayasa untuk “kepentingan pribadi atau golongan”

Sabtu, 14 Mei 2011

GOTONG ROYONG di Negeriku sudah sekarat


Gotong royong
Gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat [kearifan lokal] Indonesia apakah sudah menemui kematiaannya di era globalisasi ini ? bisa iya bisa juga tidak. Gotong royong adalah peninggalan nenek moyang kita yang secara turun temurun hingga sekarang ini, meskipun hanya tinggal sebagian masyarakat yang masih melaksanakannya. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat kita sudah mulai melupakan tradisi “gotong royong”, sedikit demi sedikit rasa kegotong royongan ini mulai terkikis, terkikis oleh semangat untuk bersaing untuk menjadi yang terhebat [siapa yang paling kaya]. Gotong royong seakan-akan tidak mendapatkan ruang di zaman serba canggih ini.

Gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat kita ini, pada masa sekarang sudah tidak kental lagi dan kemungkinan sudah sangat sulit dijumpai dibangdingkan dengan masyarakat Indonesia dulu. Yang mana pada masa-masa itu kesadaran individu terhadap kegiatan sosial ini masih sangat tinggi, nilai kebersamaan dan kekeluargaan diutamakan, mementingkan kepentingan orang banyak daripada kepentingan diri sendiri. Nilai sosial yang tinggi inilah yang memberikan nilai kekhasan mayarakat Indonesia pada masa itu. 

Namun sayangnya cirikhas itu sekarang sudah pudar dan tidak banyak dijumpai disembarang tempat, bahkan di pedesaan sekalipun, hampir kita tidak bisa melihat warga masyarakat melakukan gotong-royong yang benar-benar dilandasi nilai sosial dan persaudaraan.

Lihat saja dikota-kota besar atau dimanapun itu, gotong royong sudah mulai tergeser oleh majunya zaman yang menuntut masyarakat kita untuk berlaku serba instan. Dan, hampir tidak ditemukan lagi orang yang bekerja dengan saling balas, semuanya sudah berbicara duit dan duit.
Padahal, banyak sekali yang akan kita rasakan dan dapatkan manfaatnya dalam tradisi ini, contoh kecil saja, sebagai tempat sharing permasalahan yang ada disekitar lingkungan kita, bertukar pikiran, dan masih banyak manfaat yang lain.
Era globalisasi seakan mengubah segalanya, yang mana masyarakat kita yang biasanya berguyub sekarang sudah mementingkan diri sendiri. mementingkan periuk sendiri. Watak Individualistis dan egoistis banyak bermunculan akibat dari pengaruh tingginya biaya hidup dan persaingan.

Terbesit dalam benak saya, dengan begitu cepatnya perkembangan teknologi dan tidak terbendungnya budaya luar yang berkembang dinegeri ini, tanpa dilandasi dengan benteng yang kuat didalam diri untuk mempertahankan budaya negeri kita, maka yang bernama gotong royong dan lain-lain akan hanya ada dalam sejarah masa lampau. Sebagai contoh, Berapa banyak anak Indonesia yang mengerti Tari daerahnya sendiri atau tahu akan sejarah kampungnya sendiri? Sedikit, itupun kalau ada. Miris rasanya ketika kelak anak cucu kita harus belajar main gamelan dengan orang Belanda, belajar angklung harus ke Amerika dan belajar-belajar yang lainnya. Lihat saja salah satu stasiun televisi yang menayangkan sebuah program acara “Belajar Indonesia” yang belajar itu adalah orang luar negeri, kenapa kita kalah dengan mereka? Pelajari yang kita punya terlebih dahulu sebelum mempelajari milik orang lain.

Oleh kerena itu, Marilah kita bersama-sama menjaga dan melestarikan ciri khas yang sudah ada sejak dulu ini. Kenalkan dan Ajarkan kepada anak cucu kita budaya bangsa sendiri.
Salam Berbagi.

Sabtu, 07 Mei 2011

PENGERTIAKU ttg PANCASILA & UUD 1945


NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD 1945
I. Pancasila

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Makna sila ini adalah:
* Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
* Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
* Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
* Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain. 

2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Makna sila ini adalah:
* Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
* Saling mencintai sesama manusia.
*Mengembangkan sikap tenggang rasa.
* idak semena-mena terhadap orang lain.
* Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
* Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
* Berani membela kebenaran dan keadilan.
* Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Dunia Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain. 

3. Persatuan Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
* Rela berkorban demi bangsa dan negara.
* Cinta akan Tanah Air.
* Berbangga sebagai bagian dari Indonesia.
* Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. 

4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Makna sila ini adalah:
* Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
* Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
* Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
* Berrembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan. 

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Bersikap adil terhadap sesama.
* Menghormati hak-hak orang lain.
* Menolong sesama.
* Menghargai orang lain.
* Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama. 

II. Makna Lambang Garuda Pancasila
* Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
* Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu:
* Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
* Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
* Pohon beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia
* Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
* Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
* Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti berani dan putih berarti suci
* Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
* Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain:
* Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
* Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
* Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
* Jumlah bulu di leher berjumlah 45
* Pita yg dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda beda, tetapi tetap satu jua”. 

III. Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan
Tambahan.
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

IV. Sejarah
Sejarah Awal
Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Periode 1945-1949
Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahu kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD 1945.

Periode 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
* Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
* MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
* Pemberontakan G 30S 

Periode 1966-1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:
* Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
* Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
* Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983. 

V. Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas sistem presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
* Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999
* Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000
* Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001
* Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999

Minggu, 01 Mei 2011

KETIKA AKU TUA


Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula.
Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku......
Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu.

Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku.
Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur.

Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku.
Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi?

Ketika aku tak paham sedikitpun tentang tehnologi dan hal-hal baru, jangan mengejekku.
Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap "mengapa" darimu.

Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk memapahku.
Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.
Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat.

Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau di samping mendengarkan, aku sudah sangat puas.

Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka.
Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai belajar menjalani kehidupan.
Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku.

Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa syukur, dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.

Hormati Ayah dan Ibumu sebelum mereka meninggalkan anda dengan kedukaan yang mendalam.