Pages

Sabtu, 06 Agustus 2011

DOA UNTUK SEMESTA


Yâ Rahmân Yâ Rahîm
Dari Timur sampai Barat, dan apapun yang berada di antara keduanya. Dari Selatan sampai Utara, dan apapun yang berada di antara keduanya. Dari bumi sampai langit, dan semua makhluk yang menjadi penghuninya. Dari darat sampai lautan, dan semua makhluk yang mendiaminya. Kasihilah mereka Tuhan, sayangilah mereka, sebagaimana Engkau mengasihi dan menyayangi mereka saat menciptakannya.

Yâ Mâlik Yâ Quddûs
Untuk saudara-saudaraku yang teraniaya, untuk saudara-saudaraku yang tertindas dan terpinggirkan. Untuk saudara - saudaraku yang merasa paling benar, paling pintar, dan paling tahu segala hal. Lindungilah mereka dalam naungan cinta dan kasih-Mu, sucikanlah hati dan pikiran mereka dengan limpahan anugerah kearifan-Mu.

Yâ Salâm Yâ Mu’min
Untuk saudara-saudaraku yang kebingungan ke mana harus mengarahkan pandangan, ke mana harus menatap keindahan cahaya-Mu. Untuk saudara-saudaraku yang merasa asing di tengah-tengah gelak tawa kesombongan dan keangkuhan. Berilah mereka keselamatan, limpahilah mereka keamanan, dan peluklah mereka dalam kedamaian cinta-Mu.

Yâ Muhaimin Yâ ‘Azîz
Untuk saudara-saudaraku yang telah dirampas kepercayaannya, yang telah dikebiri hak-hak kemanusiaannya. Untuk saudara-saudaraku yang terlalu lama terdiam dalam ketakutan yang mencekam, ketakutan atas kemiskinan, ketakutan atas hilangnya kehormatan. Peliharalah mereka dalam taman keagungan-Mu, sentuhlah mereka dengan sepercik embun kebesaran-Mu.

Yâ Jabbâr Yâ Mutakabbir
Untuk saudara - saudaraku yang hidup dalam kehinaan pandangan-Mu, terperosok dalam jurang kesesatan yang begitu dalam, dan terpenjara dalam kegelapan ruang kebodohan. Untuk saudara-saudaraku yang masih saja sombong dan angkuh untuk bisa memahami perasaan orang lain. Angkatlah mereka Tuhan, angkatlah mereka, dan letakkanlah di atas bumi pengampunan-Mu.

Yâ Khâliq Yâ Bâri’u
Untuk saudara-saudaraku yang sibuk dengan kesenangannya sendiri, sibuk dengan nafsunya sendiri, yang senantiasa menari-nari di atas kehinaan dan penderitaan sesamanya. Untuk saudara - saudaraku yang telah gelap mata, yang telah mati nuraninya, yang telah beku hatinya. Siramilah mereka Tuhan, siramilah mereka dengan kesejukan cinta kasih-Mu.

Yâ Mushawwir Yâ Ghaffâr
Untuk saudara-saudaraku yang terlupa dengan kewajibannya, yang terlena oleh keindahan dunia, yang terpesona oleh kefanaan dirinya. Untuk saudara - saudaraku yang terlalu bangga dengan kapandaiannya, kehormatannya, kedudukannya, maupun kekuasaannya. Ingatkanlah mereka Tuhan, ampunilah mereka, maafkanlah mereka dengan kelembutan kasih sayang-Mu.

Yâ Qahhâr Yâ Wahhâb
Untuk saudara-saudaraku yang suka mengolok-olok orang, menghina dan mencerca teman maupun saudaranya. Untuk saudara-saudaraku yang bangga jika dapat mempermalukan saudaranya, mengalahkan musuhnya, maupun membenci orang yang telah menyakitinya. Tolonglah mereka Tuhan, ajarilah mereka bagaimana cara untuk tidak membenci sesama.

Selasa, 02 Agustus 2011

Yang tak pernah kau tahu siapa aku


Aku berjuang diantara pena dan buku - buku yang melingkari waktuku,
Kukumpulkan huruf - huruf yang berhamburan,
di jiwa...
di raga...
difikiranku...!

Kukembangkan istana layar khayalku.
Keinginan tlah menjelama bagai Dewa, Untuk mengarungi samudra kenyataan.
Aku berdiri tegak pada simpang kehidupan,
Dengan tatap mata tajam memandang hari depan yang merindukan ... harapan!

Cangkulku adalah renunganku...
Mata hatiku adalah pisau...
Kudapat kepastikan apa yang kumau.
Air mataku adalah syair kehidupan,
Sampai kubilang mati itu adalah keindahan,

Bulanlah yang memberiku mimpi - mimpi,
Anginlah yang mengajaku tuk mencari.
Dan aku sama sekali tidak peduli,
Walau aku harus muntah untuk menjawab tentang.... Diriku sendiri!

Aku adalah aku..
Yang tak pernah kau tahu...
Dan apa juga yang kau sangka!
Bay : Purnomo bin Somo Wardoyo

Senin, 01 Agustus 2011

Indonesiaku



Aku berharap Indonesiaku juga Indonesiamu.
Memang belum sangat jelas apakah Indonesiaku sama dengan Indonesia yang diteriakkan penyair Taufiq Ismail di dalam puisinya "Kembalikan Indonesia Kepadaku". Juga belum jelas apakah Indonesiaku sama dengan Indonesia yang dimaksud Bung Karno dalam "Indonesia Menggugat".

Banyak hal, ternyata, yang belum cukup jelas di dalamnya. Indonesiaku hasil sebuah dialog dan negosiasi politik yang lama, melelahkan, dan menyita kesabaran, dan membutuhkan toleransi terhadap semua kemungkinan aspirasi yang bermunculan dari sana sini. Tiap aspirasi harus diakomodasi dengan baik di dalam dan oleh semangat multikulturalisme yang tak henti-hentinya kita bangun.

Indonesiaku bukan hanya milikku, melainkan juga Indonesiamu, milikmu. Indonesiaku pelan-pelan kita dirikan di atas impian-impian dan aspirasi kultural yang sangat beragam, penuh variasi, penuh nuansa, dan membuat kita kaya, bagaikan taman bunga yang semarak dan harum dalam benak dan alam ideal kita.

Indonesiaku, pendeknya bukan sebutir kelereng, yang padat dan jelas sosoknya. Dengan akal pikiran aku bisa membayangkan bagaimana kira-kira rumusan politiknya. Tapi, aku belum bisa merasakannya dengan hati dan jiwaku karena rumusan-rumusan akal boleh jadi hanya bersifat teknis politis, dan itu pun di dalamnya bukan mustahil ada unsur "akal-akalan".

Selebihnya, konsensus politik sering tidak tulus mengabdi kepentingan bersama. Dalam tradisi kenegaraan kita, yang masih muda usianya, politik sering hanya berarti "tipu muslihat" untuk meraih kemenangan jangka pendek, dan tak peduli akan pentingnya membangun keadilan semesta alam bagi segenap warga negara dan manusia-manusia yang hidup di dalamnya.

Kerja politik sering agak sedikit dungu karena merasa sudah puas melihat "hasil" berupa terciptanya sosok besar sebuah "struktur" yang bagus wujudnya, tapi kering dan kosong, tanpa jiwa. Padahal, yang kita rindukan, dan hendak kita wujudkan, ialah "jiwa" ke-Indonesia-an, untuk memberi makna lebih riil pengertian "adil dan beradab" bagi semua kalangan. Juga, dan terutama, bagi mereka yang selama ini tertindas sepatu tentara, polisi, birokrat, pedagang, dan para politisi keparat yang telah menggadaikan jiwa mereka kepada semua setan yang membunuh kemanusiaan.

Indonesiaku hasil sebuah kerja kreatif, hasil imajinasi tentang apa yang luhur dan mulia, dalam ukuranku dan ukuran-ukuranmu semua, yang bukan hanya berbeda, melainkan juga berkebalikan satu sama lain. Tapi, tak berarti aku boleh, dengan barisan massa milikku, mengusirmu pergi dari bumi milik Tuhan ini.

Kau pun tak akan bisa mengusirku dari tiap jengkal tanah di mana aku berpijak, karena di mana pun aku berada, aku tak menjejak di atas tanah warisan Engkong dan Kakek moyangmu, melainkan di atas bumi milik Tuhan kita, yang ramah dan serba akomodatif terhadap semua makhluk-Nya. Adaku di bumi ini merupakan wujud "Titah-Nya", "Kehendak-Nya" dan "Tanggung Jawab-Nya".

Jadi, bagaimana mungkin di antara kita, sama-sama umat beragama, sama-sama makhluk beriman, bahkan satu agama dan satu iman, tapi hendak singkang-menyingkang dan usir-mengusir? Bukankah dialog dan negosiasi kita tentang Indonesiaku, dan Indonesiamu, belum lagi selesai?

Aku tidak tahu adakah generasi demi generasi di atas kita sudah gagal merumuskan ke-Indonesia-an yang teduh, enak, dan membawa rasa nyaman bagi kita semua? Aku hanya tahu mereka sudah berusaha dengan segenap cinta, tanggung jawab dan kesediaan berkorban. Dan, generasi kita, yang mungkin lembek dan kurang wawasan, akan bersedia gagal mewujudkan Indonesiaku, dan Indonesiamu, yang kita inginkan bersama, dan kita lalu memilih baku bunuh seperti binatang di rimba raya?

Indonesiaku memang bukan sorgaloka, dan seharusnya juga bukan rimba raya. Maka, siapa bilang ia tak mungkin diubah menjadi sejenis sorgaloka yang bersedia memberi tempat bagi kita semua untuk bisa merasa aman dan nyaman di dalamnya.

Indonesiaku, sekeping negeri yang diciptakan Tuhan dengan kasih sayang dan tanggung jawab. Dengan kasih sayang dan tanggung jawab-Nya, diciptakan kita dalam corak yang berbeda warna kulit, etnisitas, tradisi, dan bahasanya, cara pandang dan sikap-sikapnya terhadap hidup. Dan, Tuhan memelihara semua jenis perbedaan itu.

Lalu apa hak kita, yang bukan nabi, bukan wali, dan bukan orang suci, untuk bersikap seolah kita nabi dan orang suci, atau wali, hingga di mata kita perbedaan menjadi musuh dan barang terkutuk serta harus dimusnahkan dari muka bumi? Siapa yang memberi kita hak, bersikap seolah kita Tuhan?

Kita tahu urusan "halal-haram" dengan baik, tapi mengapa yang "haram" hanya mereka, sedang bagi kita segala kebejatan yang paling haram kita bungkus dengan jubah putih agar tampak seperti halal? Adakah kau kira Tuhan terpesona melihat kelicikan seperti itu?

Politik memang bisa, dan selalu, menipu. Orang banyak, yang lemah status sosial-politiknya, mudah pula ditipu. Dan, kita puas melakukan penipuan demi penipuan selama Indonesiaku berdiri. Tapi, mengapa Tuhan pun kita tipu?